Minggu, 07 Oktober 2007

APALAGI yang Aman Kita Makan?

 

PERTANYAAN Itulah yang kini selalu mengusik hati masyarakat. Maklum saja, banyak jenis makanan yang kita konsumsi ternyata merusak dan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Kemarin, misalnya, kita beritakan tentang 22 warga yang keracunan makan daging impor. Satu di antaranya sampai meninggal dunia, sedangkan selebihnya dilarikan ke puskesmas terdekat.
Seluruh korban yang tinggal di sebuah dusun di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, itu dikabarkan baru saja usai menghadiri acara berbuka puasa di rumah seorang warga. Pulang dari sana mereka langsung mengalami diare berat. Bahkan satu di antaranya muntah-muntah terus selama 10 jam, hingga kemudian meninggal dunia.
Dugaan sementara, mereka keracunan karena mengonsumsi daging impor yang disuguhkan tuan rumah kepada mereka. Soalnya, undangan lain yang tak ikut makan daging dan hanya mengkonsumsi ikan dan ayam, sama sekali tak kena diare atau muntah-muntah.
Hingga kini belum jelas kandungan apa yang terdapat dalam daging tersebut sehingga sampai membuat keracunan puluhan orang dan merenggut nyawa seorang ayah berusia 35 tahun.
 Sebelumnya masyarakat memang telah diingatkan agar berhati-hati mengonsumsi daging yang terkena hama penyakit anthrax. Penyakit yang konon menyerang kuku kaki sapi tersebut ternyata berbahaya juga bagi manusia. Tapi, kematian warga yang muntah-muntah sampai 10 jam tersebut belum jelas apa ada kaitannya dengan anthrax.
Belakangan ini banyak di antara makanan yang kita konsumsi ternyata tak aman bagi kesehatan. Beberapa waktu, misalnya, ramai diberitakan soal ikan yang diberi formalin sebagai bahan pengawet. Kendati formalin yang selama ini dipakai zat pengawet mayat ini tak langsung berdampak negatif bagi kesehatan manusia, namun dalam jangka panjang dikabarkan akan banyak pengaruhnya terhadap kesehatan manusia.
Takut mengonsumsi ikan, masyarakat lalu coba beralih kepada ayam. Apalagi pada zaman ini ada ayam yang dalam usia 30-an hari sudah bisa dikonsumsi. Dengan tubuh padat berisi, ayam muda seperti ini sangat empuk digoreng, dibakar, maupun dijadikan ayam gulai.
Namun, kesenangan masyarakat dalam menikmati ayam montok, muda, dan segar ini tak berlangsung lama. Sejak wabah flu burung semakin banyak merenggut jiwa manusia, masyarakat jadi sempat berpikir dua kali untuk menentukan pilihan: makan ayam atau tidak.Soalnya. ayam pun kini diyakini mampu menularkan virus H5N1 itu kepada manusia.
Boleh jadi karena takut memakan daging, ikan, maupun ayam, atau ada alasan lainnya, kini mulai ngetrend warung-warung vegetarian yang konon mengharamkan daging, ayam, dan ikan. Warung seperti ini hanya menyediakan sayur-mayur yang diramu sedemikian rupa sehingga ada yang rasanya sampai menyerupai rasa rasa ayam, rasa daging, dan aneka rasa lainnya.
Namun, meskipun telah memakai bahan bakanan yang aman dikonsumsi, sudah sejak lama diyakini banyak sayuran yang proses penanamannya menggunakan zat pestisida yang juga tidak aman bagi tubuh. Jika terus-menerus mengonsumsi zat beracun ini, diperkirakan pemakannya akan berisiko besar terkena penyakit kanker.
Memang, saat ini sudah banyak ladang sayur-mayur yang menggunakan zat organik sehingga produknya pun jadi lebih aman dikonsumsi. Namun, untuk memproduksi sayur-mayur secara massal dan cepat, pemakaian pestisida dan pupuk kimia pun jadi tak bisa dihindarkan.
Nah, jika hampir seluruh jenis makanan tersebut sudah semakin tak aman untuk dikonsumsi manusia, maka kembali ke pertanyaan awal tadi: apalagi yang aman kita makan.
Nampaknya masalah ini sudah harus menjadi perhatian serius dari semua kalangan. Tak hanya masyarakat saja sebagai konsumen, tapi juga pihak pemerintah yang boleh dikatakan harus memikul tanggungjawab penuh dalam menanganinya. Sebab, masyarakat yang sehat bisa dijadikan sebagai cermin kekuatan suatu negara. Masyarakat yang sakit akan membuat negara juga menjadi lemah.
Karena itu diharapkan aparat pemerintah semakin gencar mengawasi masalah bahan makanan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bila ada kemauan dan tekad yang membara dari pemerintah, masalah ini akan dapat teratasi dengan mulus dan diharapkan tak sampai merugikan satu pihak pun.

Bukan Berkah bagi Orang Miskin

PUASA Ramadhan tinggal sekitar seminggu lagi. Perjuangan menahan lapar dan haus serta menjaga emosi sebentar lagi akan berakhir. Pekik kemenangan melawan musuh berupa hawa nafsu itu akan tiba saatnya pada Hari Raya Idul Fitri mendatang, berupa gema takbiran yang akan dikumandangkan umat secara bersahut-sahutan.
   Detik-detik menghadapi hari kemenangan sudah semakin terasa. Pasar dan tempat berbelanja lainnya kini sudah mulai dibanjiri pembeli. Anak-anak mulai merengek minta dibelikan baju, celana, dan sepatu serba baru. Kaum ibu pun tampak mulai sibuk membenahi rumah dan menyiapkan aneka penganan untuk hari raya mendatang.
   Sementara para pekerja kini sudah sibuk menanti kapan tunjangan hari raya (THR) akan diberikan. Mereka pun mulai menghitung hari, menyesuaikan jadwal libur perusahaan dengan lamanya mudik ke kampung halaman.
   Begitulah potret kehidupan masyarakat kita setiap menghadapi saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Dari tahun ke tahun, seperti sebuah siklus, kesibukan seperti ini terus berulang terjadi. Artinya, masyarakat seakan tak pernah merasa bosan menghadapi satu dari bagian siklus kehidupan tersebut.
  Padahal, agar bisa turut melaksanakan kegiatan tersebut, banyak benar pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya, bahkan juga pengorbanan spiritual yang harus dilakukan. Namun, masyarakat seperti tak mau perduli, dan tetap berupaya untuk ikut dalam siklus tersebut.
  Dalam sebuah survei yang dilakukan Lembaga Analisis Informasi (Essai) mengenai "Puasa dan Kemiskinan" di Palembang belum lama ini, terungkap bahwa sebanyak 60 persen umat Muslim yang tak berpuasa adalah orang miskin, seperti tukang becak, sopir bus kota, sopir angkot, dan buruh bangunan.
  Menurut Wardah Hafidz, Ketua Urban Poor Consortium (UPC), orang miskin yang tidak berpuasa di Bulan Ramadhan itu tak bisa disalahkan. Alasannya, mereka tidak kuat berpuasa karena harus bekerja keras mendapatkan penghasilan menghadapi Lebaran. "Mereka terpaksa bekerja lebih giat untuk biaya pulang kampung atau Lebaran," katanya.
   Menariknya, seperti diungkapkan Wardah, fenomena ini tidak hanya terjadi di Palembang saja.
   "Ini juga terjadi di daerah-daerah lain. Cakupannya nasional," katanya.
    Karena tuntutan jam kerja yang bertambah, mereka merasa kondisinya tidak mampu untuk menjalani ibadah puasa. Oleh karena itu, Wardah berharap Pemerintah Daerah bisa membantu meringankan beban mereka. Yakni, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan formal, dengan membuat peraturan soal gaji ekstra dari majikan pada pembantu atau sopir," katanya.
    Jika hal ini bisa diwjudkan, maka buruh pun tak perlu lagi menambah jam kerjanya untuk mendapat uang lebih. Sebab, sudah ada jaminan dari pemerintah soal bonus hari raya.
   Akan halnya nasib mereka yang bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima atau asongan, Wardah mengatakan pemerintah selayaknya selama bulan puasa juga bisa "berpuasa' mengejar-ngejar mereka. "Puasa juga menguatkan kepedulian. Jadi hentikanlah penggusuran. Biarkanlah mereka berdagang dengan tenang," ujarnya.
   Dengan penelitian ini, kata Anton Bae dari Essai, bisa disimpulkan bahwa puasa bukan sesuatu yang dianggap suatu berkah buat orang miskin. "Orang miskin memandang puasa seperti suatu beban ekonomi, terutama mengenai kebutuhan menghadapi Lebaran," katanya.
  Jika dicermati lebih dalam lagi, puasa sebenarnya bermakna untuk mencegah dari sikap pemborosan dengan belajar langsung bagaimana beratnya derita yang dihadapi orang-orang yang kelaparan.
 Namun, makna puasa yang kemudian lebih diartikan pada muaranya saja yakni pada saat hari raya, justru membuat puasa itu menjadi beban bagi semua orang. Tak hanya orang miskin saja yang terbebani, tapi juga akan dialami kalangan menengah maupun atas. Sebab, Hari Raya sering dimaknai dengan memberi upeti kepada pihak lain, terutama yang ada hubungan bisnis dengannya.
  Padahal, sebenarnya kewajiban umat Muslim yang berpuasa hanya membayar zakat fitra kepada fakir-miskin paling lambat sebelum selesai pelaksanaan sholat Idul Fitri. Tak ada perintah untuk beli baju baru, masak kue, memberikan bingkisan atau angpao, maupun mudik ke kampung halaman.
Tapi mengapa dari begitu dalamnya makna puasa tersebut, lalu dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya menjebak diri umat sendiri menuju ke arah kesulitan hidup?

Mengadili Pengguna Kayu Limbah

Kapolda Riau, Brigadir Jenderal Sutjiptadi, nampaknya sudah patah arang dengan beberapa perusahaan besar di bidang perkayuan di wilayah ini. Dalam pertemuan dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau, Selasa (2/10), ia dengan gamblang mengungkapkan praktik illegal logging dari dua perusahaan raksasa yang sudah melakukan pembalakan liar itu sejak bertahun-tahun.
   "Saya punya datanya," kata Sutjiptadi, seraya mengatakan kedua perusahaan besar itulah yang menjadi dalangnya. Karena itu ia meminta kepada wartawan untuk memberitakan masalah ini dengan sebenar-benarnya.
Sebagai aparat penegak hukum, data yang dimiliki kepolisian tentu saja bisa dipertanggungjawabkan. Setidaknya data yang dimiliki Kapolda Riau sudah memenuhi bukti permulaan yang cukup, sehingga polisi berani mengirimkan berkas perkara beberapa tersangkanya ke kejaksaan. Memang, untuk menguji kebenaran dan akurasi data-data tersebut, sudah pasti harus melalui lembaga peradilan, baik itu peradilan umum maupun mahkamah lain yang berwenang.
   Tapi, kita yakin polisi tak sembarangan dalam mengumpulkan data-data tersebut. Selain terjun langsung ke lapangan, polisi juga banyak mendapat masukan dari instansi terkait serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga sering langsung memantau ke lapangan.
   Dalam pertemuan dengan Pengurus PWI itu, Kapolda pun mengungkapkan bahwa sudah jutaan hektare hutan yang dirambah. Sebagian di antaranya tanpa aturan dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Ia pun menuding aparat pemerintah yang ikut berkolusi dalam pengrusakan hutan secara besar-besaran itu.
   Ironisnya, seperti diungkapkan Sutjiptadi, kedua perusahaan besar itu memiliki lahan hutan seluas jutaan hektare yang bisa mereka kuasai selama 94 tahun. Kapolda pun menuding mereka membabati hutan tanpa aturan yang jelas, lalu menggantinya dengan tanaman akasia.
Hal ini tentu saja merusak spesies tumbuhan, hewan, dan merusak kelestarian alam. Menurut kapolda, ini belum lagi menyangkut masalah limbah, dan manipulasi dokumen.
Seperti telah diungkapkan di atas, data-data yang dimiliki polisi tentu saja dapat dipertanggungjawabkan. Itu makanya polisi pun tampak ngotot dengan masalah pembalakan liar tersebut, dan bertekad untuk menyeret semua yang terlibat ke kursi pesakitan.
   Tapi, saat kapolda asyik membeberkan masalah ini kepada para pengurus PWI Cabang Riau, pada saat bersamaan Direktur Utama PT RAPP, Rudi Fajar -- salah satu perusahaan yang dituding kapolda -- juga membeberkan fakta sebaliknya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Ia memang tak membantah perusahaannya ikut menggunakan bahan baku pulp dari kayu alam.    Namun, menurut Rudi, kayu alam itu diperoleh dari limbah kayu bahan baku serpih (BBS) dari sekitar 14 perusahaan mitra pemasok. Seluruh pemasok itu, katanya, memiliki surat izin hak pengusahaan hutan (HPH).
   Rudi mengungkapkan, perusahaannya mendapatkan pasokan bahan baku dari tiga sumber. Yakni dari konsesi HTI yang dikelola sendiri, dari kerjasama kemitraan dengan perusahaan lain yang memiliki izin HTI, serta dari hutan tanaman rakyat.
   Dari data-data yang diungkapkan kedua belah pihak tersebut, tugas pengadilanlah nantinya menentukan siapa pihak yang paling benar. Artinya, dalam kehidupan berdemokrasi ini, suatu kebenaran tak bisa disampaikan lewat ucapan atau retorika semata. Tapi harus dengan bukti-bukti dan fakta yang jelas dan akurat.
   Itu pun selayaknya disampaikan lewat proses hukum di pengadilan. Sehingga putusan yang dikeluarkan kelak dapat menjadi jurisprudensi atau semacam pegangan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang melanggar hukum.
   Tapi, sayangnya, kendati aparat polisi kelihatan sudah sangat bernafsu untuk membawa kasus ini ke pengadilan, aparat hukum lainnya tampak masih sangat berhati-hati. Padahal, seperti diungkapkan Sutjiptadi, dirinya berada di jalur yang benar dalam melakukan pemberantasan pembalakan liar ini. "Saya ingin negeri ini tidak dihancurkan hanya dengan dalih untuk investasi," katanya.

Bak Aske tak Begune

   Tempo dulu, khususnya di kawasan Sumatera Timur, ada beberapa gurauan yang ditujukan kepada saudara serumpun kita di negeri seberang. Seperti ucapan hentak-hentak bumi untuk mengatakan jalan di tempat, rumah sakit korban lelaki untuk menyebutkan klinik bersalin, dan aske (askar) tak begune untuk para pensiunan tentara.
   Namun, ucapan bernada gurauan versi masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera ini tentu sangat tak layak diberikan kepada tokoh semacam Syarwan Hamid, kendati beliau juga merupakan pensiunan tentara, tapi dengan pangkat yang cukup tinggi : Letnan Jenderal. Apalagi, sepanjang karirnya putera asli Siak ini menduduki berbagai jabatan strategis. Misalnya, pernah menjadi Kasosspol ABRI, Wakil Ketua MPR RI, bahkan sempat pula menduduki jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri.
   Aneka prestasi yang telah dicapai Syarwan dalam skala nasional, seharusnya menjadikannya sebagai tokoh yang cukup disegani, dihargai, dan selalu menjadi tempat untuk meminta pendapat, nasihat, tunjuk ajar dan berbagai macam masukan lainnya. Setidaknya, di tanah Melayu yang menjadi tumpah darahnya ini, Syarwan selalu atau bahkan setiap saat tak pernah sepi dari kerumunan warganya yang lebih muda usia dan pengalaman.
   Tapi, dari mimik wajah yang ditunjukkan Syarwan, ia tampak seperti orang kesepian di tengah riuhnya derap kemajuan di Bumi Lancang Kuning. Pemikiran-pemikirannya yang cukup cemerlang sehingga menjadi jalan baginya menduduki posisi-posisi cukup strategis dan penting di tanah air, kini seakan tak dibutuhkan lagi di tanah kelahirannya sendiri. Meminjam istilah tadi, Syarwan kini memang bak aske tak begune di negerinya sendiri.
  Jenderal yang agak tempramental ini sebenarnya sangat menyadari soal perlakukan yang kurang menyenangkan ini. Sebagai orang tua yang sebenarnya telah masuk dalam strata sesepuh, selayaknya ia dihargai seperti menghormati orang tua sendiri.
   Makanya, seakan tak mampu lagi mengendalikan emosi, dalam acara buka puasa bersama sejumlah pengurus Forum Nasional Perjuangan Otonomi Khusus beberapa waktu lalu di Rumah makan Pondok Baung, Jalan Sudirman, Pekanbaru, Syarwan pun langsung memuntahkan kekesalan-kekesalannya. "Apa salah di Riau dan apa dosa saya, sehingga saya diberlakukan seperti ini," katanya dengan nada tinggi.
   Kekesalan Syarwan rupanya terkait dengan saat penabalan gelar adat Melayu Riau kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Balai Adat Melayu Riau, Pekanbaru, Agustus lalu. Sebagai sesepuh dan orang yang sebenarnya sangat dihargai di rantau ini, ternyata ia tak masuk dalam daftar nama tokoh yang menepungtawari Presiden.
   Dalam kerangka berpikir obyektif, hal seperti ini sebenarnya tak terlalu menjadi masalah yang berarti. Apalah arti sebuah upacara mengoleskan kapur sirih ke tangan seseorang, lalu diikuti dengan menyiramkan kembang dan beras yang telah diramu sedemikian rupa.
   Namun, dalam kerangka berpikir secara adat istiadat yang sejak turun-temurun dilaksanakan nenek moyang, ketidakikutannya memberikan tepung tawar itu bisa dianggap sebagai pelecehan, bahkan sampai ke rana penghinaan yang sangat dalam. Seseorang dapat saja merasakan hal ini seperti menginjak-injak harga dirinya.
   Memang, dalam kehidupan modern sekarang ini, adat istiadat lebih condong kepada sekadar kenangan ataupun hiburan semata. Gelar adat yang diberikan tak sampai menyebabkan seseorang menjadi memiliki sebuah kekuasaan atau keistimewaan tertentu.
   Tapi, sebagai orang timur yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, masalah seperti ini masih dianggap sebagai hal yang serius.
   Kendati begitu, seperti yang tersirat, masalah ini sebenarnya hanya sebagai faktor pemicu keberangan Syarwan saja. Dengan kata lain, masih ada pelbagai perlakuan lainnya yang menyebabkan jenderal bintang tiga ini pun kemudian merasa dianggap seperti aske tak begune.
   Berkaca dari kejadian tersebut, selayaknya para pemimpin di Riau lebih menghargai yang lebih tua, baik dari segi usia maupun dalam pengalamannya. Sebab, banyak pemikiran, setidaknya pengalaman atau jam terbang mereka yang dapat dijadikan cermin untuk melaksanakan pembangunan ke depan. Janganlah bak kata pepatah: habis manis sepah dibuang.